Sunday, January 18, 2004

Lahir sangat prematur

Bossway

Baiklah, Transjakarta kadung berjalan. Ia bakal menjadi icon baru transportasi Jakarta, setelah bus semacam Metromini dan Kopaja berhasil menjelma sebagai istilah generik angkutan umum menengah Ibu Kota.

Sebagai bayi, Transjakarta lahir sangat prematur. Tak cukup usia kandungan untuk dia sebenarnya. Bayangkan, hanya sehari sebelum peluncurannya, banyak warga tetap tak mengenalnya: Apakah rute bus saya selama ini akan terpangkas? Apa makna bus pengumpan? Bagaimana orang cacat bisa menggunakannya? Di mana saya boleh memutar bila mobil saya harus melintasi jalur Transjakarta?

Kita tak tahu apa yang menekan Bang Yos untuk berkeras dengan jadwalnya. Kita mungkin tak perlu tahu. Tapi, kita perlu mengingatkan dia tentang adanya kesenjangan komunikasi antara pembuat kebijakan dan warga kota. Ada jarak antara agenda Bang Gubernur dan cita-cita warga.

Siapa yang harus memperpendek jarak itu? Tentu bukan warga yang harus berusaha keras memahami para pemimpin. Tentu bukan rakyat karena mereka akan terpontang-panting--sebagaimana terjadi di era Presiden Wahid. Gubernurlah yang harus mengenali kemauan warganya dan memperkenalkan sebaik-baiknya keputusan dia.

Umar bin Khattab, khalifah kedua pada era awal kejayaan Islam, berusaha mengenal rakyatnya dengan mengunjungi langsung rumah-rumah mereka. Ia tak cukup mendengar laporan bawahannya. Ia secara incognito mendatangi kampung-kampung untuk mendekatkan jarak, sehingga hilang segala noise komunikasi.

Sebagai pemimpin, Umar menemukan kenyataan ada seorang ibu yang harus merebus batu untuk menghibur anaknya yang kelaparan. Umar yang terkenal berwatak keras pun luluh. Hatinya menangis. Ia kemudian rela menggendong sendiri karung gandum untuk sang ibu.

Kesenjangan komunikasi bisa sama buruknya dengan kebijakan yang buruk. Transjakarta boleh jadi konsep yang baik. Tapi, ia bisa cacat karena warga tidak cukup bisa memahami keberadaannya. Warga, misalnya, masih saja bertanya-tanya mengapa perjalanan mereka di Ibu Kota tetap menyita waktu amat banyak, berjam-jam hanya untuk beberapa kilometer?

Transjakarta lahir dengan inspirasi busway di Bogota. Tapi, Bang Yos tak sepenuhnya mengambil konsep di ibu kota Kolombia itu. Ia memungutnya sebagian.

Di Bogota, kelahiran busway beriringan dengan perubahan radikal kultur berkendaraan. Warga sudah jenuh dengan kemacetan dan polusi udara. Maka, saat Walikota Enrique Penalosa menawarkan sepeda sebagai penyelesaian, mereka antusias. Busway pun akhirnya lahir dalam paket yang sama dengan ''sepedaway''.

Penalosa mengawali proyeknya pada 1980-an. Ia menutup sejumlah jalan selama tujuh jam pada hari Ahad dari mobil. Warga yang hendak pergi agak jauh cukup mengunjungi halte busway. Ia memarkir sepedanya di sana, lalu menuntaskan perjalanan dengan bus. Prasarana untuk bus umum maupun sepeda diperbaiki.

Kini, saat Penalosa telah pensiun, 120 kilometer jalan di Bogota bebas dari mobil pribadi sepanjang hari Ahad. Dua juta sepeda pada hari tersebut turun ke jalan raya, berbaur dengan pejalan kaki dan pengguna roller blade.

Penalosa bukannya tak punya penentang. Kalangan bisnis sempat menolak. Sebuah kritik mengatakan ia hendak mengkomuniskan Bogota--karena seluruh warga bersepeda dan berkendaraan umum. Tapi, Penalosa dapat meyakinkan warga Bogota karena ia pun larut dalam konsep untuk warganya. Ia adalah bagian dari warga.

Jadi, Penalosa pun bersepeda. Ia juga menggunakan busway. Ia merasakan langsung kekurangan pada gagasannya. Ia bagai Umar yang mempersempit jarak komunikasi dengan terjun langsung ke wilayah kehidupan rakyatnya.

Saya, terus terang, tak begitu tega membayangkan Bang Yos larut dalam pekerjaan besarnya kali ini: Ia keluar dari rumah di kawasan Taman Suropati, melenggang 50 meter ke Jalan Diponegoro, lalu menanti kedatangan bus pengumpan di halte Gedung Bappenas.

Kemudian, ia naik bus menuju Jalan Sudirman, lalu antre karcis di halte busway, dan naik Transjakarta menuju kawasan Monas. Dari Jalan Medan Merdeka Barat, mungkin ia harus naik bajaj, atau kancil di masa depan, ke kantornya. Saat terguncang-guncang di dalam bajaj yang full asap, ia mulai berpikir-pikir untuk memakai sepeda--seperti Penalosa.

Walau tak begitu tega, saya menyarankan ia mencobanya. Bukan hanya saat peluncuran Transjakarta, Kamis lalu--sebuah seremoni penuh artis. Mungkin, seperti Penalosa, ia bisa menekadkan diri untuk melakukannya sepekan sekali, katakanlah di hari Senin atau Jumat.

Dengan begitu, ia bisa memandang kotanya dari cara pandang warga lain. Tunjukkan kenyamanan konsep busway. Tetaplah berjas dan berdasi. Tunjukkan pula keamanannya. Sekalian bawa lap top dan handphone seperti biasa dan bekerjalah di atas bus.

Bolehlah, dari atas Transjakarta Bang Yos meledek penumpang mobil pribadi yang terjebak kemacetan, sementara ia dan busnya melaju tanpa rintangan. Ia menunjukkan bahwa busway layak untuk eksekutif seperti dia; bahwa busway adalah juga bossway. kalyara@yahoo.com (Arys Hilman - republika)

Read More...