Wednesday, March 3, 2004

Anggaran tidak transparan

Anggaran Busway Tidak Transparan, Masyarakat Pun Menduga-duga

BUS transjakarta sudah beroperasi selama sebulan lebih lima belas hari. Namun, pihak Pemprov DKI belum pernah mengevaluasi operasional angkutan tersebut secara terbuka dan disosialisasikan kepada masyarakat. Evaluasi justru dilakukan oleh pihak lain, seperti lembaga swadaya masyarakat, para pakar di bidang transportasi, serta masyarakat umum.

SEJAK awal, bus transjakarta memang menuai kritik meski secara konsep tetap didukung. Satu hal yang mengemuka adalah mengenai rincian anggaran yang tidak disampaikan kepada publik. Padahal, anggaran proyek besar tersebut dibiayai oleh rakyat Jakarta lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Lebih aneh lagi, anggota DPRD pun tidak mengetahui rincian anggaran proyek bus transjakarta. Mereka hanya tahu bahwa anggaran itu ada di dalam APBD.

Akibat anggaran yang masih remang-remang itu beberapa LSM pun angkat bicara. Karena sulitnya mendapat rincian pengeluaran biaya proyek, mereka hanya sebatas menduga dan mencocokkan dengan data di lapangan.

Yang paling jelas sebenarnya adalah bus transjakarta itu sendiri. Orang berkomentar, "Keterlaluan kalau bus transjakarta yang umurnya masih bisa dihitung dengan jari sudah rusak-rusak."

Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) mencatat, dalam sebulan beroperasi, rata-rata tiap hari ada bus yang rusak atau mogok. Antara lain rusak pada bodi, mesin, pegangan tangan, juga sensor pintu. Hingga 8 Februari, terdapat dua bus yang rusak berat, tujuh bus rusak ringan, dan dua bus tidak ada awaknya. Dari 56 bus yang ada, tinggal 47 yang beroperasi.

Tak heran kalau kemudian berembus berbagai dugaan mengenai penyelewengan dana. Bahkan, ada yang menduga bus baru itu menggunakan mesin lama. DPRD DKI Jakarta bahkan pernah berencana membuat panitia khusus untuk menyelidiki penyimpangan dalam proyek yang menggunakan APBD DKI tahun 2002 sebesar Rp 2,4 miliar, Rp 118 miliar (2003), dan Rp 120 miliar (2004).

Entah bagaimana, rencana membentuk pansus itu tidak berjalan mulus. Setidaknya, keinginan Wakil Ketua DPRD Chudlary dan sebagian anggota Komisi D untuk membuat pansus itu tidak sejalan dengan sikap Ketua Komisi D Koeswadi Soesilohardjo.
"Kerusakan bus bukan disebabkan karena bus lama atau bodong," kata Koeswadi membela.

Namun, anggota Komisi D dari Fraksi PDI Perjuangan, Dadang Hamdani, mengakui adanya kecurigaan sejumlah anggota dewan bahwa mesin bus transjakarta adalah mesin lama.

Direktur PT Jakarta Express Trans Wahid Sukamto mengatakan, kerusakan bus belum sampai kepada mesin. "Paling-paling karena dinamo starternya terganggu karena sopir kerap salah over persneling," katanya.

Humas BP Transjakarta Ajar Aedi mengatakan, bus yang rusak masih dalam garansi perbaikan dari perusahaan tempat pembelian mobil tersebut.

Wahid mengatakan, 56 bus terdiri atas 17 unit dengan mesin Mercedes-Benz tipe OH 1521/60 dan 39 unit mesin Hino tipe RG. Sebanyak 43 unit bus dikaroseri PT New Armada, sedangkan sisanya dikaroseri PT restu Ibu.

"Kalau jenis OH 1521/60 itu berarti mesin memakai sistem interculair, dengan kekuatan di atas 200 horse power. Kalau untuk Hino tipe RG, itu 220 horse power," jelas Wahid.

TUDINGAN penggelembungan dana proyek busway itu memang sulit dikonfirmasi. Dalam APBD disebutkan, harga satu bus adalah Rp 850 juta.
Dalam penelusuran selanjutnya ke perusahaan karoseri PT New Armada (Magelang) dan PT Restu Ibu (Bogor) harga satu bus Hino adalah Rp 821,7 juta, sedangkan bus Mercedes Rp 846,5 juta. Harga itu sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Kalau dihitung untuk 56 bus, anggaran yang digunakan untuk pengadaan 56 bus mencapai Rp 47,60 miliar.

Sementara itu, keterangan yang dihimpun dari sejumlah pengusaha bus yang tergabung dalam Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI Jakarta menyebutkan, harga chasis bus merek Mercedes-Benz tipe OH 1521/60 adalah Rp 350 sampai Rp 390 juta per unit. Harga karoseri Rp 170 juta dan harga AC Rp 85 juta. Total biaya Rp 645 juta per unit.

Sementara harga bus Hino tipe RG untuk chasis sebesar Rp 330 juta. Harga karoseri dan AC sama dengan Mercedes. Keseluruhan biaya bus Rp 585 juta.
Harga yang disebutkan sumber-sumber yang enggan disebutkan namanya itu adalah untuk bus dengan 44 tempat duduk. Dengan asumsi, bus transjakarta yang hanya 30 tempat duduk berarti harga yang satu unit bus harus lebih rendah dari 44 tempat duduk.

Kecurigaan lain dari Dadang adalah bisa saja bus transjakarta yang digunakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI itu meniru bus operasional DPRD DKI Jakarta. Namanya juga Mercedes-Benz, tetapi peruntukannya bukan untuk bus. "Chasisnya untuk truk. Jadi, saat dipakai tarikan tenaganya payah," kata Dadang.

Namun, berbagai kecurigaan itu dibantah Ketua Komisi D DPRD DKI Koeswadi Soesilohardjo. "Tidak mungkin Mercedes-Benz membiarkan ada perusahaan yang menjual produknya asal-asalan, menjual truk dengan merek Mercedes-Benz, tetapi mengubah chasisnya untuk bus," katanya.

Dadang masih mencoba mempertanyakan dari mana bus untuk Transjakarta itu didatangkan. Apakah dari Thailand, Vietnam, India, atau Jerman? "Kami tidak pernah diberi tahu. Pemprov DKI, Dinas Perhubungan, dan BP Transjakarta selalu tidak transparan soal itu," ungkap Dadang.
Ia mengatakan, tidak transparannya Pemprov DKI, Dinas Perhubungan dan BP Transjakarta juga dalam hal spesifikasi dan pertimbangan teknis, termasuk juga pembelian bus transjakarta.

Baik Koeswadi, Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang punya proyek dan BP Transjakarta sebagai pengelola busway mengatakan, bus transjakarta adalah barang baru, bukan bodong dan disertai dengan faktur pembelian bus. Jadi, bernar-benar asli.
Sayangnya, hal itu hanya sebatas pernyataan. Mereka sulit memperlihatkan kepada Kompas bukti hitam di atas putih.

ITU baru soal pengadaan bus. Bagaimana dengan pembangunan halte dan jembatan penyeberangan orang? Ketua Umum Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi) DKI Jakarta Effendi Sianipar mengatakan, bahkan dirinya pun tidak mengetahui nama-nama kontraktor yang dilibatkan dinas perhubungan (dishub). "Makanya, saya juga tidak tahu berapa budget untuk membangun halte dan JPO. Tetapi, kalau melihat bahannya, itu termasuk K1 atau nilainya di atas Rp 400 juta," kata Sianipar.

Dikatakan, dia tidak mengetahui berapa sebenarnya anggaran APBD. Namun, biasanya perusahaan konstruksi hanya mengikuti nilai yang dirinci dishub. "Kalau namanya pengusaha, pastilah mengambil untung, paling tidak 10 persen. Bahkan, sampai 20 persen pun masih boleh," tutur Sianipar.

Sekretaris Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Poltak Situmorang mengatakan, menurut UU Nomor 18 Tahun 1999, seharusnya Dinas Perhubungan DKI melaporkan hasil kontrak paling lambat 15 hari setelah teken kontrak dengan kontraktor. Nyatanya, sampai detik ini, laporan itu tidak diberikan. "Ini memang sengaja ditutup-tutupi, saya saja tidak tahu perusahaan mana yang ditunjuk," kata Situmorang.

Sumber di Gapensi mengatakan, tidak ada satu pun perusahaan yang menang tender karena memang tidak ditenderkan. Hampir semuanya penunjukan langsung.
Padahal, menurut Surat Keputusan Bersama Menkeu dan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor Kep-52/A/2002 tanggal 10 April 2002 tentang Perubahan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keppres Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, ada sejumlah kriteria pemilihan atau penunjukan langsung.

Kriteria pemilihan langsung antara lain jika proyek tersebut untuk penanganan darurat keamanan dan keselamatan masyarakat. Jenis pekerjaan juga sesuatu yang perlu dirahasiakan. Penunjukan langsung hanya bisa dilakukan untuk pekerjaan berskala kecil, yaitu maksimal senilai Rp 50 juta.

Jika sudah demikian, masihkah pemprov tetap membisu? (Susi Ivvaty/ Pinkan Elita Dundu) - Kompas

Read More...