Sunday, December 10, 2006

Tiga tahun kemudian

Upaya Merawat Fasilitas Busway Masih Minim

Seorang perempuan hendak melintas. Ia harus berhati-hati. Alisnya mengerenyit. Kakinya dijulurkan untuk mengira-ngira apakah jangkauannya cukup untuk menyeberangi jembatan penyeberangan orang (JPO) yang rangkaiannya kehilangan satu lempengan. Setelah berhasil menapakkan kakinya ke lempengan berikutnya perempuan itu menarik napas. Lega rasanya.

"Takut juga harus melewati jembatan yang bolong," ujar perempuan itu. Ibu Hasan namanya. "Tapi bagaimana lagi, naik busway menghemat waktu dibanding naik bus biasa."

JPO yang menghubungkan halte busway dengan penumpang setiap hari dilewati banyak orang. Namun, terkadang penumpang busway harus bersabar dan berhati-hati, seperti Ibu Hasan. Tidak hanya kerap kehilangan lempengan untuk melintas di tangga, tapi kondisi fisik jembatan yang tidak bersih juga menjadi bagian dari aktivitas ber-busway.

Setelah hampir dua tahun beroperasi, yakni sejak bus TransJakarta berjalan pada 15 Januari 2004, keindahan jembatan dan halte busway berkurang. Di Halte Bendungan Hilir misalnya, lempengannya mulai melengkung. Cat warna perak yang membalut pegangan jembatan pudar hingga memperlihatkan warna asli kerangka fisik jembatan.

Halte busway lain yang juga tampak kumuh adalah Sarinah. Di halte ini bahkan terdapat fasilitas lift untuk mempermudah perjalanan penumpang yang sudah berumur atau memiliki keterbatasan fisik. Sayangnya, lift itu lebih banyak terlihat tidak berfungsi.

Tulus Abadi, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, mengatakan sudah pernah mengingatkan Dinas Perhubungan untuk terus melakukan perawatan secara berkelanjutan terhadap sarana dan prasarana busway. Penumpang berada dalam kondisi yang berbahaya apabila salah satu bagian dari sarana atau prasarana itu tidak berfungsi optimal.

Menurut Tulus, perawatan yang tidak dilakukan secara berkala bukan karena anggaran yang kurang atau tidak ada. Tapi lebih karena faktor karakter birokrasi pejabat publik Indonesia yang belum baik. "Jadi cuma semangat di awal tapi kemudian merosot," ujar dia.

Ia mengatakan kultur pelayanan publik oleh dinas dan pengelola busway lemah. Mereka, sambungnya, tidak memiliki visi melayani konsumen dengan sempurna. Pejabat publik di Indonesia belum terbiasa mengelola utilitas umum. Selain itu, lanjut Tulus, kendurnya semangat mengelola busway terjadi karena ada unsur proyek dalam pengerjaan angkutan umum tersebut.

Dinas terkait serta pengelola busway harus bekerjasama melakukan perawatan sarana dan prasarana. "Bisa jadi perawatan terhadap fasilitas lemah karena tidak ada pengawasan yang kuat," katanya.

Upaya merawat sarana dan prasarana busway tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan pengelola. Pengguna pun memiliki tanggung jawab. Sayangnya semangat merawat sarana dan prasarana belum dimiliki konsumen.

Pengguna busway masih belum terbiasa dengan kultur baru yang tercipta dari adanya bus model baru di Indonesia ini. Kebiasaan untuk bertransportasi publik dengan perilaku yang lebih beradab belum terintegrasi dalam jiwa warga Jakarta .

"Mereka masih tidak sabar. Terburu-buru masuk ke dalam bus tanpa mempersilakan penumpang yang hendak keluar lebih dulu. Tapi ini kultur baru yang membutuhkan perubahan perilaku konsumen," tutur dia.

Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), F Trisbiantara, mengatakan kondisi sarana dan prasarana busway yang baru berusia hampir dua tahun tapi sudah `keropos' itu memang patut dipertanyakan. Menurut dia, pengecekan kesesuaian spesifikasi fisik barang diperlukan. "Apakah telah sesuai perjanjian pengerjaan dulu," katanya.

Lempengan jembatan penyeberangan orang menggunakan metode pemakuan mati. Bukan disekrup. "Justru itu bisa bolong. Kenapa?," tanya dia. Trisbiantara kemudian menyarankan dilakukannya audit teknis atas kesesuaian spesifikasi.

Namun, kondisi jembatan atau halte yang mulai tidak sesempurna ketika baru dibangun tidak luput dari faktor kondisi armada yang belum beroperasi 100 persen di koridor II dan III. Sehingga jumlah penumpang per satuan unit bus menumpuk. Akibatnya beban yang harus ditanggung halte otomatis jadi berlebihan. "Ini yang mengakibatkan kerusakan sebelum waktu."

Trisbiantara lantas mempertanyakan apakah faktor itu sudah diperhitungkan dan diantisipasi dalam membangun sarana dan prasarana. "Jangan menutup mata dari kemungkinan itu," sambung dia. Kemungkinan bahwa beban yang ditimbulkan akibat belum beroperasi secara penuh seluruh armada busway berpotensi merusak sarana dan prasarana sebelum waktunya.

Faktor lain yang harus diperhatikan adalah pengerjaan proyek busway yang tergesa-gesa. (ind - republika)

Read More...