Saturday, September 10, 2005

Adakah yang lebih efektif?

Belajar Naik Bus

Setidaknya telah ada 8.085 anak sekolah yang mengikuti 'kursus' naik bus Transjakarta. Mereka tercatat sejak busway diluncurkan di Jakarta pada Januari 2004 hingga September 2005 ini. Dari program khusus ini, Badan Pengelola Transjakarta paling tidak mendapat Rp 20.212.500.

Badan Pengelola Transjakarta merasa perlu menyosialisasikan tata cara bertransportasi. Mereka diajari antre beli tiket, cara memasukkan tiket ke mesin pembuka palang pintu ke ruang tunggu, cara masuk ke bus dengan mendahulukan penumpang turun, tidak berdiri bersandar di pintu bus, dan sebagainyaa, termasuk cara melihat rambu-rambu. Anak-anak sekolah yang didampingi para guru itu tentu juga harus membayar tiket bus seharga Rp 2.500 sebelum mereka meluncur lewat jalur khusus dari Blok M ke Kota.

Mendengar program pendidikan transportasi dari BP Transjakarta ini, saya lantas teringat pengalaman sehari setelah menginjakkan kaki di Washington DC, Amerika Serikat. ''Kita dianggap orang kampung,'' kata seorang rekan dari Semarang, sambil tersenyum getir.

Bukan apa-apa. Pukul 08.00 pagi kami berangkat dari hotel menuju stasiun metro (subway). Ketika turun lewat eskalator saya berdiam di sebelah kiri. Di Jakarta saya terbiasa begitu, sehingga jalur kanan bisa dipakai oleh orang yang tergesa-gesa. Tapi rupanya posisi saya salah. ''Jalur kiri untuk jalur cepat, kalau berdiam di sebelah kanan saja,'' kata escort memeringatkan.

Perihal naik eskalalator, di Indonesia saya tak berhasil menularkan tata cara yang baik. Ketika beramai-ramai naik eskalator saya sering menganjurkan agar semuanya berada di satu sisi, sehingga sisi lain bisa digunakan oleh orang yang terburu-buru. Tapi, selalu saja banyak orang senang bergerombol di eskalator sehingga menutup seluruh sisi.

Seorang kolega di Mataram bercerita, saat di sana diresmikan sebuah mal, masyarakat pun berbondong-bondong mengunjunginya, hanya untuk mencoba eskalator. Setiap hari banyak antre di depan eskalator untuk mencapai lantai berikutnya. Banyak yang takut untuk menginjakkan kaki ke tangga eskalator yang sudah berjalan itu. Mereka pun menginjakkan kaki ragu-ragu, dan alhasil, banyak yang jatuh. Tapi, bukan malu yang mereka dapatkan, melainkan derai tawa, karena bukan satu-dua orang yang terjatuh.

Lepas dari eskalator, escort meminta kami untuk memegang uang 10 dolar AS. ''Kita akan membeli tiket metro,'' ujar dia. Ia pun kemudian memandu satu per satu dari kami, mulai dari cara memasukkan dolar ke mesin, memencet angka harga tiket yang kita pilih, sampai tempat tiket akan keluar dari mesin. Kami pun diberi tahu cara mengisi ulang tiket jika sudah nilai dolar di tiket itu sudah tak mencukupi untuk dipakai naik metro. ''Bagus-bagus, kalian cepat belajar,'' kata escort 'memuji' kami, setelah semua dari kami memegang tiket.

Kami pun diajari cara memasukkan tiket ke lubang mesin untuk membuka palang pintu, termasuk memberi tahu tempat mengambil tiket yang telah kami masukkan. Bahkan, kami pun diberi tahu mana palang pintu untuk masuk dan mana untuk keluar stasiun, dengan memperkenalkan rambu yang tertera, meski tanpa diberitahu pun sebenarnya sudah tahu. Kami merasa menjadi orang bodoh saat itu. Tapi, ketika ia melihat kamera digital yang kami bawa, ia bilang, ''O, kameranya lebih canggih dari kamera saya. Hebat kalian.''

Saat menunggu kereta datang, kami pun masih menerima briefing. Diberitahu agar tidak langsung menyerbu di depan pintu, karena bisa menutup jalan bagi penumpang yang akan turun kereta. Diberitahu untuk mendulukan penumpang turun, baru setelah itu giliran kami masuk.

Pemandangan yang ada begitu tertib. Ketika kami tiba di stasiun tertuju, calon penumpang pun tak ada yang berebut naik, melainkan membiarkan kami turun, baru mereka naik. Metro di Washington DC begitu tertib, begitu kontras dengan metro di New York. Untuk mencapai stasiun bawah tanah di New York, kami harus menapaki tangga yang kotor, bukan eskalator. Di sini tak perlu 'kursus' membeli tiket, karena tiket dibeli di loket. Tapi ada satu pesan, yang telah sering kita dengar di Jakarta. ''Perhatikan barang bawaan, karena di sini juga ada copet,'' kata escort.

Di Jakartaa, para pencopet mau berkorban untuk bisa beroperasi di bus Transjakarta. Selain harus membeli tiket, mereka juga tampil rapi: berpakaian ala orang kantoran, plus dasi mengikat leher, menyesuaikan dengan pakaian penumpang. Para pencopet dan penumpang lain, sama-sama sering abai aturan. Mereka berebut masuk ke bus, sehingga penumpang yang mau turun terhambat.

Memberikan pendidikan transportasi kepada anak sekolah tentu dengan sebuah harapan: bahwa mereka telah mempunyai bekal disiplin sejak kecil. Tapi apa iya, cara ini manjur? Ingat-ingatlah apa yang kita peroleh ketika kita juga masih di sekolah dasar dulu. Kita sering diajari tata cara menyeberang, tata cara menyalip kendaraan, tata cara membuang sampah, dan sebagainya. Yang tidak kita dapatkan saat itu adalah tata cara merokok yang tidak membahayakan orang lain. Toh, hasilnya sama saja. Kini kita terbiasa merokok, membuang sampah, menyeberang, dan menyalip kendaraan dengan sembarangan. (Priyantono Oemar, proe12@republika.co.id )

Read More...